Dikalangan Wahabi sangat anti terhadap shalawat Nariyah dan shalawat-shalawat lain yang dikarang oleh ulama. Mereka menganggap shalawat harus sebagaimana redaksi yang telah dibuat oleh Rasulullah, tidak boleh memakai sayyidina karena dianggap merendahkan derajat nabi sehingga semua shalawat buatan ulama mereka anggap sebagai kesesatan dan lebih-lebih shalawat Nariyah, mereka anggap sebagai kemusyrikan.
Berikut jawaban dari Aswaja untuk Wahabi yang secara serampangan memvonis musyrik dan gagal paham terhadap shalawat yang dikarang oleh ulama Aswaja.
1. Benarkah shalawat Nariyah berarti shalawat neraka?
Gagal paham Wahabi terhadap bahasa Arab sehingga kata nariyah dinisbahkan kepada neraka. Tidak benar jika shalawat Nariyah dinisbahkan kepada neraka walau kata nar bisa saja diartikan neraka sebab kata nar tidak melulu diartikan neraka namun juga bisa berarti api.
Al-Qur'an mencontohkan:
إِذْ رَأَى نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آَنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آَتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى [طه/10]
Ketika ia (Musa) melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu". (Thaha: 10)
Ayat Al-Qur'an diatas tidak memaknai nar sebagai neraka namun api yakni api yang akan memberikan manfaat karena sebagai tanda akan memperoleh petunjuk.
Shalawat Nariyah dikarang oleh ulama besar asal Maroko yaitu Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko). Shalawat ini memiliki beragam nama antaralain Nariyah, Taziyah atau Tafrijiyah. Populer dinegara Arab dengan sebutan shalawat Taziyah karena nisbah kepada kota asal dari pengarangnya.
Menurut Syekh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah karena terjadi tashrif atau perubahan dari kata yang sebenarnya yakni kata Taziyah. Sebab keduanya memiliki kemiripan dalam tulisan Arab, yaitu النارية dan التازية yang berbeda hanya pada titik huruf sedangkan polanya sama.
2. Apakah redaksi shalawat mutlak harus berasal dari Rasulullah?
Ibnu Taimiyah sebagai murid dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyah sebagai tokoh panutan Wahabi memperbolehkan menggunakan shalawat yang bukan berasal dari Rasulullah kitabnya Jala’ Afham fis Shalat was-Salam ‘ala Khairil Anam dengan meriwayatkam shalawat yang fikarang oleh sahabat dan ulama yanh kemudian menginspirasi ulama Aswaja untuk mengarang shalawat.
Shalawat karangan sahabat Rasulullah, Abdullah bin Mas’ud:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.
Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, penutup seluruh Nabi, Muhammad hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di tempat terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir” (Jala’ al-Afham 36)
Shalawat karangan Al-Qamah An-Nakha’i, seorang tabi’in:
صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham 75)
Shalawat karangan imam asy-Syafi’i:
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ.
Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya.” (Jala’ al-Afham 230).
3. Benarkah redaksi shalawat Nariyah mengandung kemusyrikan?
Redaksi shalawat Nariyah yang kerap dituduhkan oleh Wahabi sebagai biang kemusyrikan yaitu:
تـُــنْحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Rinciannya:
(تنحل به العقد)
Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(وتنفرج به الكرب)
Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(وتقضى به الحوائج)
Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(و تنال به الرغائب)
Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk memahami teks shalawat tersebut agar tidak salah paham maka diperlukan kemampuan bahasa Arab dan bukan hanya modal terjemahan.
Berikut kajian linguistiknya:
تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ
Dalam ilmu sharaf sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.
Contoh:
كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ
Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu. Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.
Contoh lain:
حَلّ اللهُ العُقَدَ فَانْحَلَّ
“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasa lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.
Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.
Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.
تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَُب
تَنْفَرِجُ merupakan fi’il madhi dari kata انْفَرَج
yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).
Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Allah yang menyingkap kesusahan, bukan Nabi Muhammad.
تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ bentuk pasif (mabni majhûl). Fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini serupa saat kita mengatakan anjing dipukul maka kita mengetahui adanya pelaku pemukulan yang tidak disebutkan. Susunan lengkapnya adalah:
يَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ
Allah akan mengabulkan semua kebutuhan.
تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
Kalimat ini sama dengan تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Nabi Muhammad tidak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan namun Allah yang melakukan hal itu walau dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.
4. Apakah dilarang tawasul saat bershalawat
Berikut pendapat para ulama yang memperbolehkan tawasul:
أَوَّلُهَا : أَنْ يَسْأَلَ اللّهَ بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ تَفْرِيْجَ الْكُرْبَةِ ، وَلَا يَسْأَلَ الْمُتَوَسَّلَ بِهِ شَيْئاً ، كَقَوْلِ الْقَائِلِ : اللَّهُمَّ بِجَاهِ رَسُوْلِكَ فَرِّجْ كُرْبَتِي . وَهُوَ عَلَى هَذَا سَائِلٌ للّهِ وَحْدَهُ ، وَمُسْتَغِيْثٌ بِهِ ، وَلَيْسَ مُسْتَغِيْثاً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ . وَقَدِ اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الصُّوْرَةَ لَيْسَتْ شِرْكاً ، لِأَنَّهَا اسْتِغَاثَةٌ بِاللّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ، وَلَيْسَتْ اسْتِغَاثَةً بِالْمُتَوَسَّلِ بِهِ ؛ وَلَكِنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِي الْمَسْأَلَةِ مِنْ حَيْثُ الْحِلُّ وَالْحُرْمَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ : الْقَوْلُ الْأَوَّلُ : جَوَازُ التَّوَسُّلِ بِالْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ حَالَ حَيَاتِهِمْ وَبَعْدَ مَمَاتِهِمْ . قَالَ بِهِ مَالِكٌ ، وَالسُّبْكِيّ ، وَالْكَرْمَانِيّ ، وَالنَّوَوِيّ ، وَالْقَسْطَلاَّنيّ ، وَالسُّمْهُوْدِيّ ، وَابْنُ الْحَاجِّ ، وَابْنُ الْجَزَرِيّ . (الموسوعة الفقهية الكويتية - ج 5 / ص 22)
Istighatsah yang pertama adalah meminta kepada Allah dengan perantara untuk menghilangkan kesusahan. Tidak meminta kepada perantara apapun. Seperti kalimat: Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku. Dalam masalah ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara. Ulama fikih sepakat bahwa semacam ini bukanlah perbuatan kesyirikan karena hanya meminta kepada Allah, bukan memohon kepada perantara. Namun ulama berbeda pendapat tentang bolehannya, dalam hal imi dibagi menjadi tiga pendapat. Pendapat pertama adalah boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik ketika mereka hidup atau sesudah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).
5. Apakah dilarang shalawat memakai sayyidina.
Kalangan Wahabi menganggap bahwa menyematkan gelar sayyidina kepada nabi adalah bentuk merendahkan derajat nabi. Padalah dalam beberapa riwayat, nabi menggelari dirinya dengan sayyidina.
Beliau bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ (رواه الترمذي)
“Saya adalah penghulu manusia di hari kiamat”. (HR. at-Tirmidzi)
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ وَأَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَمُشَفَّعٍ بِيَدِيْ لِوَاءُ الْحَمْدِ تَحْتِيْ آدَمُ فَمَنْ دُوْنَهُ”
الراوي: أبو هريرة المحدث: ابن حبان – المصدر: صحيح ابن حبان – الصفحة أو الرقم: 1766
خلاصة حكم المحدث: أخرجه في صحيحه
Artinya : “Aku adalah Sayyid anak Adam pada hari kiamat kelak, -bukan kebanggaan-, dan kuburku adalah yang pertama terbuka, dan orang yang pertama yang akan memberi syafa’at dan yang diberi syafa’at, di tanganku bendera kepujian, dan di bawah benderaku adalah Nabi Adam dan seterusnya” (HR : Ibnu Hibban)
Dalam riwayat lain :
“أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِيْ لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمَ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَائِيْ، وَأَناَ أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَلاَ فَخْرَ”
الراوي: أبو سعيد الخدري المحدث: الألباني – المصدر: صحيح الترمذي – الصفحة أو الرقم: 3615
خلاصة حكم المحدث: صحيح
Artinya: “Aku adalah Sayyid anak Adam pada hari kiamat kelak, -bukan kebanggaan-, dan di tanganku bendera kepujian –bukan kebanggaan- tidak ada Nabi pada hari itu Adam dan yang lainnya, melainkan mereka semua dibawah benderaku, dan kuburku adalah yang pertama terbelah (terbuka untuk dibangkitkan)–bukan kebanggaan- (HR : Imam At-Tirmizi)
Dalam atsar diceritakan:
حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ : " أَنَّهُ كَانَ إِذَا دُعِيَ لِيُزَوِّجَ قَالَ : الْحَمْدُ للهِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ إِنَّ فُلَانًا يَخْطُبُ إِلَيْكُمْ فَإِنْ اَنْكَحْتُمُوْهُ فَالْحَمْدُ للهِ وَإِنْ رَدَدْتُمُوْهُ فَسُبْحَانَ اللهِ " صحيح . أخرجه البيهقي 7 / 181 (إرواء الغليل - ج 6 / ص 221)
Jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: Alhamdulillah semoga Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha Suci Allah. (Al-Baihaqi 7/181)
No comments:
Post a Comment