Friday, April 27, 2018

Benarkah Fikih Muhammadiyah Pernah Sama Persis dengan NU?


Secara ringkas KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu sumber guru dengan amaliah ibadah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Berikut ringkasan “Kitab Fiqih Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, karya KH. Ahmad Dahlan. Dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah kedua ulama besar di atas sama:

Niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…” (halaman 25).

Setelah takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira…” (halaman 25).

Membaca surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).

Setiap salat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).

Membaca shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam salat (halaman 29).

Setelah salat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).

Salat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).

Tentang salat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).

Guru dan Amaliah KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyyah) dengan KH. Hasyim Asy’ari (NU) Sama

KH. Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis. Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang bermadzhab Syafi’i.

Jauh sebelum menunaikan ibadah haji dan belajar mendalami ilmu agama, KH. Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada Syaikh KH. Shaleh Darat Semarang. KH. Shaleh Darat adalah ulama besar yang telah bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.

Di pesantren milik KH. Murtadha (sang mertua), KH. Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama seperti kitab al-Hikam, al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu agama lainnya. Di pesantren ini, Muhammad Darwis ditemukan dengan Hasyim Asy’ari. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh Darat.

Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun, sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun. Keduanya tinggal satu kamar di pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2 tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang sama dan guru yang sama.

Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”. Sementara Hasyim Asy’ari memanggil Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.

Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat, keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja sang guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktik ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban, maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama Nusantara. Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khathib as-Sambasi menuliskan tentang madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang diajarkan kepada murid-muridnya seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.



Seusai pulang dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Muhammad Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan perserikatan Muhammadiyyah. Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul Ulama). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan madzhabnya.

Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Wajar, jika praktik ibadah sehari-hari KH. Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci. Seperti yang sudah dikutipkan di awal tulisan, semisal salat Shubuh KH. Ahmad Dahlan tetap menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut salat Shubuh Nabi Muhammad Saw. adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga memahami ilmu fikih.

Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktik salat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan 3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus/kesepakatan) para sahabat Nabi Saw.

Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih dengan 36 rakaat. Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah. Nyaris pelaksanaan salat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh. Di sela-sela Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah dengan thawaf. Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jadi, baik KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan amaliah ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yunahar Ilyas pernah menuturkan, “KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam salat Shubuh dan salat Tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam salat Shubuh dan jumlah rakaat salat Tarawih yang sebelas rakaat.”

Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah, “Karena Muhammadiyyah bukan Dahlaniyyah”.

Sebelumnya, saat baru diinformasikan ada kitab Fiqih Muhammadiyah karya KH. Ahmad Dahlan yang amaliahnya sama persis dengan NU, banyak orang-orang Muhammadiyah sama sekali tidak percaya. Bahkan jika terbukti kitab tersebut ditemukan, mereka berjanji akan berbondong-bondong masuk NU! Tak lama kemudian berkat perjuangan dari Tim Sarkub akhirnya kitab tersebut ditemukan dan sudah diabadikan dalam bentuk digital/PDF.

Masihkah diantara kita yang gemar mencela dan mengatakan amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah sebagai amalan bid’ah, musyrik dan sesat?

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...