Monday, July 30, 2018

Islam Nusantara, Gandum dan Singkong


By Habib Husein Ja'far Al Hadar

“Islam Nusantara” kembali dihebohkan. Intinya, masih ada yang mempertanyakan tentang bagaimana bisa ada Islam Nusantara, sedankan Islam bukankah hanya satu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah itu?

Sudah banyak sekali kiai, cendekiawan, hingga sarjana Nahdlatul Ulama (NU) selaku pengusung konsep Islam Nusantara yang menjawab pertanyaan itu secara naqlimaupun aqli. Sehingga, untuk kalangan terdidik, dari santri, ustaz, cendekiawan, apalagi ulama, seharusnya sudah cukup memahami bahwa Islam Nusantara bukan berarti menyalahi Islam yang satu, melainkan identitas tentang Islam di Indonesia yang dalam beberapa varian tafsirnya memiliki keunikan tersendiri lantaran berinteraksi dengan kebudayaan Indonesia.

Namun, kalangan awam mungkin tak sedikit yang tak mampu memahami penjelasan itu. Sehingga, masih ada yang mempertanyakan atau sampai berani-beraninya mempermasalahkan (awam kokberani-beraninya itu loh mempermasalahkan,,hehe). Nah,tulisan ini mencoba memberikan salah satu uraian dengan permisalan yang diniatkan untuk membantu kalangan awam untuk memahaminya.

Seorang ustaz lulusan salah satu pesantren di negara Arab pernah bercerita bahwa dakwahnya pernah dipermasalahkan oleh rekan-rekan seangkatannya dulu di pesantren di negara Arab karena berbeda dengan mereka, padahal ilmu yang diterimanya sama. Beliau dianggap menyalahi.

Ketika diminta penjelasannya, beliau lalu membuat permisalan bahwa pelajaran tentang Islam yang diterimanya di pesantren di negara Arab itu layaknya gandum. Karena orang-orang di sana memang mengkonsumsi gandum. Ketika pulang ke Indonesia, ia diamanati gandum oleh kiainya di sana untuk dibagikan ke orang di Indonesia. Sesampainya di Indonesia, ia lihat orang Indonesia tak makan gandum, melainkan nasi. Paling banter, orang Indonesia mengkonsumsi roti.

Melihat itu, maka ustaz itu kemudian mengolah gandum dari kiainya itu menjadi roti. Setelah jadi roti, barulah dibagikannya ke orang-orang di Indonesia. Maka, roti itu dimakannya dengan lahap dan ustaz itu disukai oleh masyarakat. Adapun ustaz-ustaz yang seangkatan dengannya, mereka tak peduli dan tetap maksa membagikan dalam bentuk gandum, sehingga tak begitu dilahap, bahkan sebagian menolak. Bukan karena tak lapar, tapi tak terbiasa dan tak suka makan gandum.

Gandum itu ibarat Islam yang diterimanya dari kiainya di Arab. Ketika ustaz itu hendak mendakwahkannya, ia pelajari dulu konteks masyarakat sekitarnya bahwa mereka memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat Arab. Maka, dengan tidak mengubah substansi dan apa-apa yang memang ketetapan yang tak bisa diubah dan ditawar-tawar dalam Islam, ia sesuaikan Islam kiainya di Arab itu dengan konteks masyarakat Indonesia. Ia oleh gandum jadi roti agar sesuai dengan lidah orang Indonesia. “Toh ya gandum juga sebenarnya, cuma diolah saja bentuknya jadi roti,”pikir sang ustaz itu.

Dalam permisalan lain, bayangkan saja Islam itu singkong. Ketika Anda hendak sajikan ke tamu, sebagaimana Islam hendak Anda dakwahkan, maka Anda akan olah ia menjadi olahan yang paling sesuai dengan lidah tamu, suasana cuaca saat tamu itu bertamu, dan lain-lain yang disebut dengan konteks. Kalau lagi hujan-hujan dan tamunya suka gorengan, Anda akan olah dan sajikan jadi singkong goreng. Kalau tamunya suka camilan, Anda olah dan sajikan saja jadi keripik singkong. Bisa juga Anda olah dan sajikan jadi singkong rebus, tape, dan lain-lain. Apakah jika dijadikan singkong goreng, tape, singkong rebus, atau keripik singkong, lalu ia bukan lagi singkong? Tentu tidak! Begitu pula Islam. Ketika ia didakwahkan sesuai konteks masyarakat yang akan menerimanya sebagaimana dilakukan Walisongo, dalam bentuk Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Islam Terpadu, atau lain-lain bentuk, maka ia tetaplah Islam yang satu itu, cuma disesuaikan dengan konteks agar mudah diterima dan tak menimbulkan konflik dengan budaya setempat. Dan, yang juga penting, di antara singkong goreng, tape, singkong rebus, dan keripik singkong, tak ada yang lebih atau kurang singkong. Perbedaan itu hanya pada penyajian aja. Maka, begitu juga antara Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Islam Terpadu, tak ada yang lebih atau kurang Islam, tak ada yang benar atau sesat. Semua sama-sama Islam, hanya dalam wajah yang berbeda sesuai konteks umat yang diayominya. Begitu!
http://syiarnusantara.id/2018/07/10/islam-nusantara-gandum-dan-singkong/

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...