Tuesday, July 31, 2018

Jejak Islam Nusantara di Ranah Minang: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah


Adat Basandi Syarak berarti adat atau budaya bersendikan syariat dan Syarak Basandi Kitabullah berarti syariat bersendikan kitabullah (kitab Allah). Syara'/syariat dalam hal ini adalah syariat Islam karena masyarakat Minang mayoritas muslim dan kitabullah yang dimaksud adalah Al-Qur'an.

Falsafah masyarakat Minang ini menggambarkan bahwa keberadaan Islam di Minang bukan untuk memberangus budaya atau adat secara keseluruhan. Adat, tradisi atau budaya selagi tidak bertentangan dengan syariat maka tidak ada alasan untuk singkirkan. Adat tetap dijaga sebagai sebuah kearifan lokal dengan tetap berpijak dalam bingkai keislaman.

Ranah Minang adalah bagian dari Nusantara sehingga warna keislamannya sangat kental dengan Islam wajah Nusantara. Setuju atau tidak setuju dengan konsep yang digaungkan oleh Nahdlatul Ulama tentang metodologi Islam Nusantara, Ranah Minang sebagai kawasan Nusantara merupakan saksi sejarah bahwa Islam di Nusantara memiliki corak dan karakteristik yang anggun, dimana budaya, tradisi dan adat tetap lestari sebagai kekayaan bangsa, wujud masyarakat yang beradab karena memiliki budaya.

Walau Jejak Islamisasi di Sumatera khususnya ranah Minang tidak dilakukan oleh Wali Songo sebagaimana di Jawa, namun secara umum Islamisasi di Jawa dan di Sumatera memiliki corak dan karakter yang sama yakni Islamisasi yang mengakomodasi budaya (akulturasi) atau kearifan lokal, pendekatan damai tanpa peperangan atau penaklukan, Islamisasi melalui kaum tarikat sufi, dominan madzhab Syafi'i dalam bidang fikih dan pengikut Imam Asy'ari dalam bidang akidah.

Nuansa Islam di Ranah Minang yang bersinergi dengan adat diperkuat dengan simbol "Syarak Mangato, Adaik (Adat) Memakai". Adalagi falsafah "Alam Takambang Jadi Guru". Ini menandakan bahwa Ranah Minang tidak dapat dipisahkan dengan budaya. Budaya-budaya luhur yang selaras dan saling menopang  dengan norma-norma agama.

Dalam ajaran Islam sesuai haluan Ahlussunnah wal jamaah, budaya atau adat dapat menjadi sebuah hukum atau penguat hukum syariat yang diistilahkan dalam Qawaid al-Fiqhiyah (kaidah fikih) dengan al-Adah muhakkamah. Batasannya adalah tidak bertentangan dengan rumusan Al-Qur'an dan Hadits, menjadi tradisi yang sudah turun temurun dan kebiasaan masyarakat umum.

Hal ini, berbeda dengan kelompok-kelompok yang mengaku muslim namun anti tradisi dan budaya sehingga berupaya untuk membasmi budaya-budaya yang tidak ada legalitas formalnya didalam Al-Qur'an atau praktik nabi. Kelompok ini senantiasa memusuhi semua budaya karena tidak mengenal mana budaya yang baik dan budaya yang buruk. Jika ada kata-kata adat, budaya dan tradisi akan segera mereka cap dengan stempel musyrik, bid'ah, kafir dan sebagainya.

Walaupun ada beberapa kelompok mengingkari tentang konsep dakwah Islam Nusantara, namun secara fakta sejarah dan substansi, mereka tidak akan bisa menutupinya. Ranah Minang, tanah Jawa, tanah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan seluruh kawasan NKRI adalah bagian dari Nusantara dimana masyarakat muslimnya memiliki kearifan dan corak budaya lokal yang tidak semuanya bertabrakan dengan syariat sehingga sampai hari ini tetap lestari.

Beberapa hal tentang pengingkaran mereka terhadap Islam Nusantara yang digaungkan kembali oleh NU dapat disebabkan karena:

1. Mengira Islam Nusantara sebagai perlawanan terhadap Islam Arab. Padahal faktanya tidak. Muslim Nusantara tetap menerima nilai-nilai Arab yang punya esensi dalam ajaran Islam seperti Al-Qur'an, Hadits, arah kiblat, nabi, shalat dan sebagainya. Islam Nusantara hanyalah perlawanan terhadap kelompok-kelompok radikal yang ingin menumpas kearifan lokal atau tradisi yang baik.

2. Mengira Islam Nusantara sebagai Jawa Sentris (memuja Islam Jawa) sehingga dikira akan menandingi Islamnya masyarakat Batak, Minangkabau dan sebagainya. Padahal, Islam Nusantara akan selalu menghargai  budaya lokal keislamannya dari masyarakat manapun. Seluruh daerah adalah bagian dari masyarakat nusantara sehingga budaya dan adat yang selaras dengan ajaran Islam akan terus dijaga.

3. Menganggap Islam Nusantara sebagai Wali Songo Sentris (mengangungkan Wali Songo) sehingga mengabaikan peran dakwah non-Wali Songo. Faktanya, konsep Islam Nusantara bukan hanya memperkenalkan kembali metode dakwah Wali Songo yang penuh kearifan dan hikmah, namun memperkenalkan kembali tokoh-tokoh pendakwah dari kawasan manapun yang sudah pasti memiliki corak dakwah yang sama sebagaimana Wali Songo yakni pendekatan budaya, kental dengan tarekat-tasawuf dan anti peperangan. Wali Songo hanyalah sampel atau contohnya, sedangkan pendakwah yang lebih dulu ada atau setara dengan Wali Songo dalam hal perjuangannya terhadap Islam tentu tidak diabaikan.

4. Mengira Islam Nusantara sebagai tempat bernaungnya ajaran Kejawen, Komunis, Syiah, Liberal dan aliran sesat lainnya. Ini adalah kesimpulan yang mengada-ada. Islam Nusantara yang digawangi NU bukan kejawen yang dianggap tak paham syariat tapi kajawi yaitu mempertemukan Islam dan budaya lokal sehingga menghasilkan masyarakat yang religius yang disebut kiai dan santri. Peran NU sangat besar dalam menumpas komunisme. NU dan Islam Nusantara bukan Syiah namun Aswaja yang tidak membenci aliran manapun termasuk Syiah karena NU sebagai perwujudan dari Aswaja, bukanlah kelompok yang menebar kebencian atas nama Islam. NU adalah kumpulan ulama yang handal dari berbagai disiplin keilmuan jadi tidak akan menjadi Liberal. Tuduhan Liberal hanya diarahkan oleh mereka yang ciut pemahaman agama, sumbu peledak dan kagetan terhadap perbedaan pendapat. Hanya kelompok yang sedikit agama dan sedikit akal yang menuduh NU sebagai kelompok Liberal.

5. Semula telah tertanam kebencian dan dengki kepada NU karena jasa dan andil besarnya kepada NKRI. NU adalah benteng Aswaja dan benteng NKRI sehingga banyak kelompok berupaya untuk menumbangkan NU dengan berbagai cara. Mereka adalah kelompok anti Aswaja seperti Wahabisme dan anti NKRI seperti khilafah ala HTI. Sehingga apapun yang digaungkan oleh NU melalui ulama-ulama besar akan selalu dimusuhi dan tidak akan berarti sama sekali.

Siapapun boleh tidak sepakat dengan NU. Kawasan manapun boleh tidak sepakat dengan konsep Islam Nusantara. Siapapun boleh berbeda pendapat dengan NU. Namun ketidaksepakatan dan berbeda pendapat terhadap NU, tidak perlu dilampiaskan dengan kebencian dan kedengkian apalagi tuduhan, hinaan dan celaan yang keji kepada NU yang tidak seharusnya disematkan kepada para pembenci itu sebagai seorang muslim dan muslimah. Janganlah kebencianmu kepada NU membuatmu tidak dapat berlaku adil. Jika kebencianmu terhadap NU sudah mendarah daging, menjadi-jadi dan sukar untuk diobati maka tunggulah kehancurannya.


No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...