Sunday, December 16, 2018

Apakah Ma'tam (Meratapi Mayit) Sama dengan Tahlilan?


Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”

Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan. Orang² Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka #MEMBAYAR_PARA_PENANGISmembayar untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar.

Perkumpulan ratapan dan tangisan spt itulah yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa² tradisi spt,   tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau #TDK_MENJATUHKAN_HUKUM_HARAM , akan tetapi MAKRUH, karena ma’tam yang ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dengan ma’tam yang dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yang dimasa jahiliyah sudah jelas  haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa² perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya.

Hal yang harus di ingat bahwa kalimat “benci/
membenci” pada lafadh para muhadditsin yang dimaksud adalah “kariha/yakrahu/karhan” yg berarti #MAKRUH. Dan makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.

Makna makruh secara bahasa adalah benci, makna makruh dalam syariah adalah hal² yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, tidak suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yang ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib.

Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yang disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam Syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram..!!

Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
#KE_MAKRUH_AN timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “#MEMPERBAHARUI_KESEDIHAN”  atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.

Keberhasilan dakwah Wali Songo (Wali Allah generasi ke sembilan) tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai² Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.

Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tsb,  tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan utk mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.

Disini tahlilan muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da’i yaitu Walisongo.

Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar² mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah.
Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.

Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Tujuan Wali Songo mengisi acara kumpul dengan amal kebaikan agar tidak timbul kesedihan atau yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” pada ahli waris dengan adanya dzikrullah untuk menegaskan ke Maha Kuasa an sehingga suasana hati ahli waris tetap ikhlas menerima takdir Allah ta’ala terhadap ahli kubur.
Sehingga acara tahlilan bermanfaat sebagaimana manfaat ziarah kubur antara lain.
1. Dapat mendoakan ahli kubur
2. Dapat mengingat mati.
3. Dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan maksiat.
4. Dapat melemaskan hati seseorang yang mempunyai hati yang keras.
5. Dapat menghilangkan kegembiraan dunia (sehingga lupa akan kehidupan akherat).
6. Dapat meringankan musibah (bencana).
7. Dapat menolak kotoran hati.
8. Dapat mengukuhkan hati, sehingga tidak terpengaruh dari ajakan-ajakan yang dapat menimbulkan dosa.
9. Dapat merasakan bagaimana keadaan seseorang itu ketika akan menghadapi ajalnya (sakaratul maut).
10. Dapat mengingatkan untuk selalu mempersiapkan bekal sebelum kedatangan ajal. Sebaik-baik bekal adalah selalu menjalankan amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan mengerjakan amal kebaikan (amal sholeh).

No comments:

Post a Comment

Khutbah Jum'at: Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita

Bulan Muharram Sarana untuk Mengevaluasi Tradisi Kita Khutbah 1 اَلْحَمْدُ للهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارْ، اَلْعَزِيْزِ الْغَفَّارْ، مُكَوِّرِ ...